Babak baru pemerintahan kota Banda
Aceh akhirnya dimulai. Tepat pada 7 Juli 2017 sebuah babak baru di kota Banda Aceh
berlangsung. Jargonnya tak kalah hebat. Gemilang, begitu katanya. Ada begitu
banyak harapan yang ditumpukan pada era pemerintahan baru ini.
Mulai dari masalah klasik kota
seperti air bersih, sampah sampai pada peningkatan ekonomi miskin. Tapi, bulan
berlalu. Hampir lima bulan sudah, gemilang seolah hilang tak berbekas. Euofria pilkada
telah usai. Kini, semua masyarakat menunggu dengan penuh harap dan cemas.
Harap, semoga kali ini lebih baik dari pada yang sebelumnya. Tak ada lagi penegakan hukum yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Terutama dibidang penegakan syariah. Yang, katanya, sebagai hukum wajib di kota yang dulu berjuluk Madani ini.
Cemas, jika apa yang dijargonkan
hanya tinggal sekedar jargon pilkada semata. Tak lebih. Dan, tak kurang. Bagaimana
aksinya mengenai sampah? Bukankah kota ini dahulunya sering mendapatkan
penghargaan Adipura. Bagaimana dengan ketersedian energi (listrik) untuk kota. Akankah
masih sama seperti yang lalu.
Masyarakat juga masih menanti
dengan cemas untuk masalah air. Beberapa bulan yang lalu, salah satu sumber air
bersih untuk kota mendadak kering. Ah, itu kan hanya karena musim kering? Lalu kala
saya masih kecil mengapa sumber air yang berada di Mata Ie itu tak pernah
kering? Mungkin, saya saja yang terlalu lebay. Toh itu sumber air itu tidak
berada dalam kawasan kota Banda Aceh yang punya masa lalu yang gemilang.
Tak lama lagi, tahun baru akan
datang menyapa. Kota yang disebut sebagai salah satu kota smart city ini sepertinya
masih berkutat dengan kebiasaan lamanya. Bahkan terkesan lebih diam. Bila diam-diam
menghasilkan tak mengapa. Tapi, bila diam menjadi tak ber-emas, bagaimana pula?
Satu statement menarik untuk
dicermati,
“Kami akan membangkitkan ekonomi kerakyatan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka pengangguran di Kota Banda Aceh,
jika dipercaya memimpin Kota Banda Aceh” katanya suatu ketika.
Lain lubuk lain belalang, lain
dulu lain sekarang. Statementnya mulai menemukan titik blunder dan kontradiktif.
Kepada tamunya, beliau
menyampaikan komitmen untuk terus melanjutkan kerja sama yang sudah terjalin
selama ini antara Banda Aceh dan Singapura. “Pelatihan
pegawai pemerintah ke Singapura akan tetap kita lanjutkan, dan di samping itu
kami juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi para investor Singapura untuk
berinvestasi di Banda Aceh seperti di bidang perhotelan dan mall.” (dikutip
dari koran harian serambi Indonesia edisi 22 November 2017)
Dua statement yang cukup
membingungkan untuk salah satu rakyat bodoh seperti saya. jika mall dianggap
sebagai sebuah titik ekonomi kerakyatan maka apalah arti pasar tradisional yang
hari ini sungguh sangat carut marut. Gemilangkah ini?
Yang mampu berinvestasi dan buka
toko atau etalase di mall, biasanya bukanlah rakyat biasa. Atau mungkin
sebenarnya ide beliau benar-benar Gemilang, karena akan membuat orang-orang
jual ikan, sayur, dan telur bisa di Mall. Luar Biasa bukan? Makanya jangan nyinyir
dulu. Ini kota Gemilang!
Kamu bingung? Tunggu dulu. Sebentar.
Biasanya jika membangun mall dan perhotelan seharusnya berbanding dulu dengan
berbagai aspek bukan? Misalnya, ketersedian air bersih, sanitasi lingkungan,
dan energi listrik, kan?
Lalu, apakah ini sudah terpenuhi?
Dengan hotel dan mall yang ada hari ini saja, listrik kota Banda Aceh mulai berdisko. Apalah artinya tambah mall dan
hotel lebih megah dan mewah lagi. Ini kota Gemilang! Kota di mana masyarakat kecil
diminta berperan aktif untuk menyukseskan setiap program dari para pemimpin
kota. Sedari dulu sudah begitu aturan mainnya. Nyinyir sedikit? Sikat!
Air bersih untuk bangunan besar? Ah
banyak kok! Ini Banda Aceh, Bro! Kota yang dialiri oleh banyak anak sungai dan
satu sungai besar krueng Aceh. Pakai saja. Cukup kok. Lalu bagaimana dengan contoh
kasus di Jogjakarta?
Ah itu hanya di Jogjakarta. Ini Banda
Aceh, kota Gemilang. Nanti akan berdiri hotel nan megah. Nanti, akan ada banyak
perhotelan berbintang yang akan menghiasi malam kota Banda Aceh dengan gemerlap
lampu. Soal listrik cukup atau tidak, itu urusan nanti. Masih banyak perkampungan
yang bisa dialihkan pasokan listriknya.
Soal nanti sumur warga kering
seperti di Sleman Jogjakarta ( kasus akhir 2014) itu urusan nanti. Masih ada Mata
Air Mata Ie di Aceh besar sana yang akan
mengaliri rumah warga kota Gemilang ini. kan pipa PDAM kota sudah diperbaiki toh? Sudah, jangan bahas mengenai carut
marutnya pipa PDAM. Karena mandi junub sedang di godok agar bisa dilakukan
dengan Tayamum.
Sampah bagaimana? Ah sudahlah..
ini kota Gemilang! Kota ini pasti akan mendapatkan penghargaan adipura untuk kesekian
kalinya. Percayalah! Soal Tempat Pembuangan Akhir sampah di kampung jawa sana sudah
penuh, itu urusan nanti. Yang penting, Banda Aceh nantinya akan dibelikan mobil
sedot debu. Biar aspal di jalanan kota mengkilap.
Kebersihan sungai kota? Kan sudah
saya katakan. Jangan bahas lagi! Rumah pribadi orang nomor satu kota Banda Aceh
berada tepat bersisian dengan sungai kok. Manalah mungkin beliau lupa
memperhatikan kebersihan sungai di kota ini.
Gemilang kan, katanya..
Tak baik menilai pembangunan kota hanya dalam waktu 5 bulan!
Komentar
Posting Komentar