ilustrasi dari rantsofamuslima.blogspot.co.id |
Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!
“Pesan yang cantik satu, tad!” tiba-tiba pemuda itu berbicara dengan wajah yang cukup lugu. Ustad yang sedari dari memberikan wejangan dan ilmu mengenai masa depan terpelongok. Kenapa tiba-tiba anak didiknya berbicara seperti itu. Apakah selama ini dia telah salah mengajarkan bahwa yang terpenting adalah iman dan hati.
“istiqfar akh, Rasulullah mengatakan yang paling utama adalah agamanya” sang ustad mencoba menjelaskan kembali duduk perkaranya sesuai tuntunan kanjeng Nabi.
“iya, saya paham Tad, tapi saya tetap pesan yang cantik satu, Tad” jawabnya lagi.
“he?” sang ustad masih terbengong-bengong. Jangan-jangan si murid sudah mulai kena penyakit cinta dunia. pikirnya saat itu.
“Tad, yang Ustad tawarkan ke saya nanti kan insya Allah pasti berjilbab kan?” tanyanya.
“iya, insya Allah” jawab sang ustad dengan penuh keyakinan.
“nah, artinya agamanya insya allah sudah bagus tad. Perihal hati, biarlah allah dan waktu yang akan menilainya. Jadi persyaratan awal sudah terpenuhi. Sekarang saya mau persyaratan selanjutnya. Cantik tad!” sang murid tersenyum. Sedangkan ustadnya masih memegang janggut. Mencerna. Lalu tersenyum.
“ah bisa aja antum” jawabnya.
***
Di kali yang lain. Mau itu kali jodo, mau kali urang, mau kali aceh. Intinya aku ingin mengatakan kali yang lain. Jangan sewot ya? Seorang anak gadis (jangan Tanya dari mana aku tahu dia gadis atau janda. Intinya dia perempuan. Okay?) duduk bersama dengan ustadzahnya. Mereka terlihat sangat serius. Seserius apa yang sedang mereka pikirkan berdua. Sang muridah (kan perempuan harus ditambah “Ha” diakhirnya dalam bahasa arab tho?) sedang berpikir seperti apakah sosok suaminya kelak. Criteria telah ditetapkan. Sedangkan sang ustadzah, sedang berpikir keras mencarikan calon suami untuk anak muridahnya yang sesuai. Yang bisa menjadi imam. Yang bisa membawa kebaikan. Yang bisa terus menjaga keimanannya.
“he? Maksudnya?” Tanya sang ustadzah.
“ yang bila dipandang wajahnya teduh. Bisa meneduhkan hati saya, ustadzah” jawan sang muridah dengan wajah yang semakin merona.
“benar, tapi saya yakin, ketika ustadzah mengenalkan seorang pria kepada saya, dia pasti bagus ibadahnya. Walaupun itu hanya terlihat lahirnya saja. Perihal batin, biarlah Allah yang menentukan. Bukankah begitu ustadzah?”
“benar…” jawab sang ustadzah dengan cepat.
“jadi sekarang, saya mohon agar ustadzah mengenalkan seorang pria yang wajahnya teduh bila dipandang. Yang selalu berbalut air wudhu” jawab sang muridah dengan wajah semerah senja. Mungkin karena terlalu panas siang itu. Mungkin, siapa yang tahu?
***
Ini semua memang fiktif. Hanya sebuah candaan yang sesekali terdengar. Ini juga cuma tulisan iseng yang berawal dari sebuah percakapan dan postingan-postingan di multiply akhir-akhir ini. Terutama dari pihak kaum hawa. Saya sendiri, sudah cukup sering menuliskan perihal ini. Maksudnya perihal ukuran wajah, penampilan, sikap, atau apapun dalam bentuk lahiriah. Misalnya, dalam postingan terbaru ada di sini. Atau, ada banyak dalam tag nikah.
Cerita diatas, mengambarkan bahwa hal itu adalah fitrah. Sama seperti ketika rasulullah menyuruh salah seorang sahabatnya untuk melihat dulu calon istrinya yang berasal dari kaum anshar. Hal yang serupa juga pernah di riwayatkan ketika seorang Wanita meminta agar rasulullah menceraikannya dengan suaminya. Yang katanya, dia dinikahi tanpa pernah tahu suaminya. Lalu tiba-tiba yang dia jumpai adalah seorang pemuda yang hitam. Wanita itu tidak sreg.
Atau, bila ingin sedikit repot. Ada sebuah cerita yang hampir serupa dikisahkan terjadi dalam masa Umar bin Khatab ra. menjadi khalifah. Seorang wanita meminta cerai karena suaminya terlihat begitu sibuk dengan ibadahnya, sehingga sang istri merasa seperti tidak di perhatikan lagi. Tidak di penuhi hasrat seksualnya. Tidak terpenuhi hak matanya. Hak mata? Mudahnya adalah memandang sesuatu yang “menyejukkan”.
Suka tidak suka, mau tidak mau, Islam menuntun kita kepada fitrah. Fitrahnya seorang manusia. Bukan fitrahnya seorang malaikat. Manusia punya nafsu. Punya kepuasan saat memandang yang indah, yang rapi, dan yang menyejukkan. Sayangnya, hal ini seperti tersingkirkan. Ketika kita terus menerus mengerjakan sesuatu secara berlebihan, maka sesuatu yang lain bisa saja di lupakan. Lebih parahnya lagi, malah sampai ada yang menafikkannya. Padahal, islam tidak melarangnya. Juga tidak menyuruh kita untuk menjauhinya.
Jika sering membaca buku-buku psikologi perihal pernikahan dalam islam. Dimana hal-hal serupa sering disinggung. Begitupun dengan buku-buku fiqh pernikahan. Pasti ada perihal penampilan yang di bahas. Bukankah dalam kitab fiqh bab pertamanya adalah thaharah? Yang artinya bersuci. Yang pada ujungnya merujuk kepada kebersihan lahir dan batin. Bersih itu kan harus luar dan dalam. Pun, orang yang bersih itu pasti enak di lihat.
Jangan salahkan orang lain, ketika dia melihat kita langsung ilfeel, ternyata dia mencium bau tak sedap yang bersumber dari lipatan lengan kita. Ternyata ada bau jengkol basi yang menyeruak. Atau, jangan juga salahkan orang lain ketika dia berbicara dengan kita, sambil menutup hidungnya. Ternyata baju yang dipakai sudah seminggu tak dicuci. Ini pun bersaing dengan bau “bunga bangkai” dari setiap helaan nafas kita.
Rasulullah, bila kita membaca buku sejarah kenabian adalah orang yang bersih. Rapi. Teduh. Dan, tampan. Beliau menjaga penampilannya. Agar orang-orang yang didekatnya nyaman. Yang terpenting adalah agar orang-orang senang melihat beliau. Tapi sekarang? Kenapa justru hal itu di jauhkan. Hati memang penting, tapi bukankah hati yang bersih berasal dari jasad yang juga bersih. Karena jasad berguna sebagai benteng awal hati ( bila hatimu bicara, karya Imam Ath Turmudzi).
Bukan ini pria yang dibahas, hanya ilustrasi by rezamustafa.blogspot.com |
Jangan pernah heran, bila ketika bertatapan dengan seseorang yang ingin melamar kita akhirnya mundur. Selidik punya selidik, dia ilfeel ketika melihat ada bingkai hitam dibawah pelupuk mata. Oh, si wanita suka begadang. Wajahnya pun, jauh lebih tua dari umur yang tertera di lembaran kepribadiannya. Jangan pula heran, bila tiba-tiba sang wanita membatalkan rencana pernikahan dengan sepihak. Selidik punya selidik, ternyata sang pria berkawah giginya. Alias berplak. Penuh merangkai setiap untaian giginya.
Ibuku pernah menegur, “ kalau jadi alim itu jangan tanggung-tanggung! Emangnya ada rasulullah mengajarkan kalau jadi alim boleh nggak mandi seharian?” glek! Cuma karena aku malas mandi. Ibu menegur. Lalu mengalirlah petuah-petuahnya mengenai masa depan. Bagaimana bila kelak tiba-tiba istri tidak mau lagi tidur disamping. Padahal baru nikah sebulan lalu.
Cuma karena malas mandi. Badan berdaki, lengket, dan harum bunga bangkai pula ketiaknya? Shalat tetap jalan, tilawah berlembar-lembar. Tapi tak satu lembarpun dicatat oleh malaikat. Kenapa? Karena malaikatnya pingsang duluan. Kenapa? Karena nafas kita bau nafas naga!
Cuma karena malas mandi. Badan berdaki, lengket, dan harum bunga bangkai pula ketiaknya? Shalat tetap jalan, tilawah berlembar-lembar. Tapi tak satu lembarpun dicatat oleh malaikat. Kenapa? Karena malaikatnya pingsang duluan. Kenapa? Karena nafas kita bau nafas naga!
Komentar
Posting Komentar