foto by http://www.alamiry.net/ |
Assalamu`alaikum wr wb
Kita, yang begitu banyak menuntut, terkadang sering lupa bahwa tatkala menuntut banyak hal, ada kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Tidak masalah menuntut apapun, asalkan kewajiban terpenuhi. Tapi mau bagaimana lagi? Kekurangan pada diri manusia selalu saja menjadi masalah. Padahal, Allah menciptakan manusia memang dengan penuh kekurangan. Untuk apa? Mungkin, bagi yang terbiasa dengan teori TOWS matriks akan bisa mengerti. Apa gunanya weakness dalam matriks tersebut. Bilang saja, egois. Egois itu bila berlebihan memang kurang baik. Tapi tahukah kita bahwa egois itu dituntut ketika kita berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Pemarah, rasullullah memang mengatakan jangan marah, bagimu surga. Itu bila tidak pada tempatnya. Itu, bila berlebihan. Akan tetapi, apakah kita tidak boleh marah tatkala melihat seorang wanita muslimah di kebiri auratnya? Seperti Yahudi khaibar yang mempermalukan seorang muslimah. Apa kita lupa dengan kejadian tersebut.
Begitulah, manusia dengan segala kekurangannya. Menjadi sadar diri. Menjadi mengerti dimana dan kemana harus menempatkan diri. Sayang seribu kali sayang, nila setitik merusak susu sebelanga. Itulah yang kini tengah terjadi. Manusia yang satu menuntut manusia yang lain menjadi seorang pribadi tanpa celah. Mudahnya, ketika ada seseorang yang terlabelkan “ikhwan” dan “akhwat” apa yang akan terlintas dikepala kita tentang mereka. Semuanya adalah kesempurnaan. Ilmu agama yang tinggi. Akhlaq yang baik. Pakaian yang islami. Dan, begitu banyak hal yang akan tergambarkan. Gambaran inilah yang akhirnya membuat sebuah paradigm berpikir yang kebablasan. Bablas karena kita lupa. Lupa bila mereka juga manusia. Sama seperti kita. Saya, anda, dan semua yang anda anggap manusia.
Sebuah kasus terjadi, tanteku, tiba-tiba seperti orang kalap. Murka dan tiba-tiba marah.
“ Pokoknya kamu jangan ama akhwat tarbiyah. Tante tidak suka. Apa mereka itu, bajunya lebar-lebar tapi jorok. Lipatan kain mereka ada “bismillahnya”. Main langsung shalat pula lagi. Apa itu orang yang katanya muslimah? Belum lagi kemarin temannya tante juga gitu. Dia kalau dibilang muslimah mungkin dah lebih dari itu. Lihat orangnya, mungkin yudi akan suka. Tapi kalau lihat rumahnya. Masya Allah. Sama kapal pecah masih menang kapal pecah. Rasulullah kan tidak mengajari seperti itu kan Yud? Yudi tentu lebih paham dari tante” pengenalisir yang merugikan. Tapi jadi pertanyaan, salahkah penilaian seperti itu?
Kasus yang lain terjadi. Suatu hari di sebuah pukesmas. Seorang bapak, yang berjenggot. Memakai celana cungkring. Bau khas yang menusuk hidung. Mengandeng seorang anak. Ingin mencabut giginya. Sang anak,-yang namanya juga anak kecil- menangis sejadi-jadinya karena ketakutan. Tiba-tiba, Plak! Sebuah tamparan keras mendarat dipipi sang anak. Anak itu menangis. Kali ini bukan karena ketakutan giginya dicabut. Tapi, dia menangis karena tamparan ayah kandungnya sendiri.
Seorang ayah, yang mungkin dimata masyarakat setempat adalah orang yang begitu dikagumi. Tapi? Hari itu? “pak, kalau mau menampar anak seperti itu, saya juga bisa. Tapi bukan begitu caranya. Namanya juga anak-anak. Mereka harus dibujuk bukannya di pukul. Apa bapak tidak belajar hal demikian dari al quran dan hadist?” dokter gigi akhirnya berang melihat sikap sang bapak “alim” tersebut. Apa yang terlintas dipikiran kita sekarang? Salahkah penilaian seperti diatas?
Ada begitu banyak lagi kasus serupa terjadi. Misalnya, seseorang pria yang dianggap alim menggondrongkan rambutnya. Lawan jenisnya akan serta merta mengatakan bahwa itu adalah hal yang tidak baik dilakukan. Menyebalkan. Begitupun selanjutnya. Ketika ada seorang wanita yang dianggap muslimah, duduk berkumpul dengan teman-teman kampusnya diantaranya adalah lawan jenis. Menyebalkan. Sepertinya, sikap seperti ini, berkembang dan terus berkembang. Yang pada akhirnya, kita sendiri menjadi lupa. Apakah itu dilarang agama atau tidak. Kita lupa, mana yang masih dibolehkan mana yang tidak. Salah-salah, kita telah menentukan hokum sendiri.
Semuanya, yang ada diatas adalah hal yang menyebalkan. Menyebalkan karena kita sendiri yang merasa bahwa hal itu adalah yang menyebalkan. Kita lupa, bahwa ikhwan, akhwat, atau siapapun mereka. Mereka tetap saja manusia. Menuntut terlalu berlebihan sedangkan kita sendiri belum tentu lebih baik. Melihat orang tapi tidak melihat diri sendiri. Mengapa begitu naïf? Ikhwan yang mengatakan bahwa akhwat sering menyebalkan, sebenarnya secara tidak langsung dia sendiri sudah menyebalkan. Begitupun dengan akhwat yang suka mengatakan bahwa ikhwan itu menyebalkan. Sebenarnya ia sendiri juga termasuk orang-orang yang menyebalkan.
Mengapa? Mengapa selalu memandang sesuatu hal dari sebelah mata? Dalam kasus akhwat diatas, dia mungkin memang menyebalkan. Tapi tatkala ada sisi yang lain lebih baik dari dirinya. Apakah pantas dia di “hina” dengan kata-kata “nyebelin”?. Dalam kasus sang bapak ustadz, apakah ia pantas dihakimi dengan labelisasi “menyebalkan” hanya karena sikapnya yang tiba-tiba tidak “ustadz banget”? apa kita lupa, bahwa mereka itu adalah manusia.
Semuanya adalah manusiawi. Sesuai fitrah ketika pertama kali diciptakan. Kitapun tidak jauh berbeda. Dalam sikap yang kurang baik ini, rasulullah bersabda bahwa “Janganlah seorang lelaki mukmin membenci seorang mukminah (istrinya), bila ia membenci suatu perangai padanya, niscaya ia menyukai perangainya yang lain.” (HR. Muslim). Tentu saja ini juga berlaku kepada wanita mukminah dalam menyikapi suaminya.
Selanjutnya, tatkala kita sibuk terus menerus mengatai orang lain. Kita telah sibuk mengurusinya. Hati-hati, ada sebuah hadist qudsi yang-kira-kira- mengatakan barang siapa yang sibuk mengurusi sesuatu hal selain allah, maka allah akan membuatnya lupa terhadap allah. Ini juga belum terkena dengan hadist yang mengatakan "Orang Islam yang paling utama adalah orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42). Sadarkah kita, saat mengatakan orang lain menyebalkan kita telah terkena hadist-hadist diatas. Menegur boleh saja, tapi gunakanlah cara yang ahsan.
Mereka mungkin memang menyebalkan. Dengan semua sikap mereka. Tapi ingatlah satu hal, kita tetap ikut berperan aktif dalam menentukan sikap mereka. Kita belum tentu lebih baik dari mereka. Kita juga belum tentu lebih beriman dari mereka. Bisa jadi bukan? Kita yang sibuk mencari keburukan orang lain, sedang orang yang kita nilai buruk malah terus menerus memperbaiki diri?
Hingga akhirnya, kitapun tertinggal kereta “kebaikan”. Selamat. Kita terdaftar sebagai para kader yang mungkin paling menyebalkan. Karena kita paham, tapi malah menghiraukan semua hadist. Manusia, itu bukan malaikat. Malaikat tidak akan pernah menjadi Manusia. Yang baik dan ada yang buruknya hanya manusia. Jika ingin mencari yang baik semuanya, silahkan naik kelangit. Lalu tanyalah yang bernama jibril. Terus menerus menuntut orang lain menjadi sangat baik, apakah kita pernah menuntut diri sendiri menjadi lebih baik dari yang ada. Atau, jangan-jangan, kita malah merasa lebih baik dari mereka. Hati-hati, ujub! Atau, bisa saja, lama-lama kita yang malah menyebalkan. Karena hanya bisanya menuntut tanpa pernah melakukan kewajiban sebagai seorang yang mengaku ISLAM! Wallahu`alam
Wassalamu`alaikum wr wb.
#tulisan lawas sumber di facebok sayah
wallahu alam
BalasHapusmakanya aku paling ga suka menjudge seseorang hanya karena pakaian, ato kesalahan kecil yg dia lakukan.. mendingan mikirin tingkah laku sndiri dulu deh, udh bener ato blm... kalo tingkah sndiri aja masih kurang ato bnyk salahnya, siapa kita suka nilai-nilai org sembarangan :)..
BalasHapus