Langsung ke konten utama

Ketika Aku Harus Menikah (Lagi)

adat kasih cincin kepada mempelai wanita

Berbilang tahun sudah, pernikahan yang syahdu ini berjalan layaknya sebuah biduk yang mengarungi perairan Banda. Naik turun, goyang-goyang, dan tak jarang ditemani oleh lumba-lumba yang menari. Anak sudah dua. Sepasang pula. Dari yang ganteng sampai yang cantik. Lengkap sudah.

Seawal perkenalan dulu, tak ada ungkapan cinta nan romantis yang berkelebat dari surat-surat kertas yang bau harum. Tak ada. Hanya ungkapan sederhana, maukah engkau menjadi kekasihku kelak?  dan berapa maharnya? (teteup..) Singkat cerita, dia mengajukan sebuah pertanyaan klasik.

“Bagaimana menurut abang poligami itu? Ada niat kah?”

Ini sebenarnya sebuah pertanyaan yang cukup menjebak. Mengingat, begitu banyak perihal poligami ini berseliweran di dunia maya. Awal mulanya, mungkin karena efek ayat-ayat cinta yang sempat heboh di awal-awal remaja dulu. Sekarang juga sedang heboh. Heboh sekali malah. Terlebih lagi sejak seorang penulis wanita yang bergerak di bidang dakwah, meluncurkan sebuah novel yang akhirnya di angkat menjadi sebuah film. Lagi-lagi, poligami menjadi permasalahannya. Entah salah apa si poligami ini, sampai berabad setelah manusia ini mengenal cinta, dia selalu dimusuhi.

“segala sesuatu yang di halalkan oleh Tuhan, maka kita tak berhak mengharamkannya, begitupun sebaliknya. Dan Poligami termasuk didalamnya. Niat? Sepertinya tidak. Tapi bila suatu saat Aku benar-benar harus melakukannya, mungkin Aku harus siap untuk itu.”
“Abang ini, sebenarnya mau menikah atau tidak sih? Atau mau parang ini terbang kerumah abang? Jawabannya nggak romantis kali. Macam mau ngajak perang aja.”  Sepertinya misuh misuh dia di seberang telepon sana.

“tapi adek setuju dengan abang, mungkin suatu hari, abang harus berpoligami. Tolong siapin diri ya bang?”

Heee? Apa kuping yang sedikit budeg ini tidak salah dengar? Serius? Serasa ada banyak durian yang runtuh di kebun lalu Aku bisa menjualnya dengan harga tinggi.

Jadi berapa mayam adek?

Cuma sebungkai (sebongkah) lebih dikit bang

Alamak…
****
“Bang, mungkin ada baiknya abang nikah lagi, adek kayaknya selalu nyusahin abang, sakit asma ini sering bikin abang panik dan stress. Apalagi kalau adek lagi sakit begini, anak-anak seolah tak terurus. Abang urus anak, kerjaan abang terbengkalai. Semuanya jadi berantakan. Mungkin, kalau abang nikah lagi, abang ada yang urus. Paling tidak, ada yang memenuhi kewajibannya sebagai istri” sembari terbaring diatas tempat tidur, dengan nafas yang tersenggal-senggal dia berusaha berbicara kepadaku.

Aku nanar melihatnya. Bernafas saja dia sulit, asma yang bertahun mengidapnya kini kembali menyerangnya. Kali ini, lebih hebat dari biasanya. Tubuhnya kurus drastis. Seolah Aku ini suami tak tahu budi. Dalam rasa sakit yang tak tertahan, dia masih saja memikirkanku. Bukan hal biasa, melainkan sebuah hal yang berkaitan dengan keegoisan seorang pria. Nafsu dan Nikah Lagi! Tersenyum Aku di buatnya. Tapi, apalah artinya cinta bila akhirnya keegoisan yang menjadi landasan pacu? Biduk rumah tanggaku seolah goyang tak terkira. Meloncat sejadi-jadinya. Tapi? Apatah artinya sebuah pernikahan yang baru sedangkan kekasihku ini menderita?

Sudah, nanti saja kita bicarain lagi ya. Sekarang, yang penting adek sembuh dulu. Anak-anak lagi nunggu adek dirumah.

Tak lama berselang, seminggu kemudian. Asma kembali mereda. Sesaknya kini telah hilang. Dan sepertinya, pikirannya kembali menjadi seorang wanita pada umumnya. Aku mencoba membicarakan perihal amanahnya kala sakit lalu. Mungkinkah pernikahanku untuk kedua kalinya akan bermula? #ehem…

Menurutku, poligami itu tak ada masalah. Sanggup? Ya silahkan, tapi juga tak layak untuk di benci. Kesetiaan akan cinta? Cinta pada wanita itu dibuktikan bukan dengan sebuah perselingkuhan bukan? Ah entahlah.

ketika pernikahan yang pertama

Tapi, menikah lagi di tanah rencong ini? Berarti Aku harus berbicara perihal mahar yang tak sedikit, tambahan uang dapur, tambahan uang perawatan sakit istri, tambahan sandal anak, tambahan uang jalan-jalan ke mall ataupun ke pulau sabang, lalu yang terakhir, keadilan dalam membagi hak istri. Nah ini dia yang menjadi biang keroknya!

Aku masih membayangkan, bila nantinya, Aku harus berumah dua. Beristri dua, beranak banyak, dan sebentar-bentar di suguhi hasil test yang berstrip dua. He?? Hamil lagi?? Bisa dipastikan, setiap kali istri-istri menyodorkan hasil test tersebut, mukaku sumringah sekaligus nyengir seperti kambing bandot. Bukan, bukan tak mau bertanggung jawab. Tapi kalau setahun sekali dua? Silahkan anda bayangkan sendiri.

Bila membangun rumah bersebelahan, Aku membayangkan bila malam jumat tiba. Lalu jatah harus di setor, kalau Cuma jatah belanja, sih masih gampang. Tapi kalau jatah di atas ranjang??? Baru selesai satu, yang satunya lagi memanggil dengan mesra. Minta jatah juga! Innalillahi..ngesot pulang dari rumah istri dua..

Dek, jadi, gimana perihal nyari satu lagi untuk abang?

“Oh, masih ingat rupanya ya. Boleh aja.. ada syaratnya…”

Apa syaratnya?

Tolong cari yang mau ngurus abang, yang lebih muda, yang kaya, yang alim juga, dan yang terakhir, abang harus Hapal Quran! Bisa?”

He??? Tenang dulu dek, abang kan nggak bilang kalau abang mau nikah lagi. Insya Allah satu masih cukup. Belum jadi ustad saya ni.

Tapi bang, bila suatu hari abang harus begitu gimana?

Adek aja yang atur.. abang ngikut aja..


Kami berdua pun saling berpelukan lagi. Sembari Aku tersenyum dalam hati. Hore, Aku tak jadi ngesot dari satu kamar ke kamar lainnya. Alhamdulillah…

Komentar

  1. Kaya dan hapal Al Quran ... berat banget syarat nya, ini secara tidak langsung tidak setuju hua hua

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkw iya sih om..
      tapi, memang begitulah wanita, jarang mau ikhlas cintanya terbagi hahaha

      Hapus
  2. Alhamdulillah,gak harus ngesot dari kamar ke kamar ya, hahahaaaaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah aman kak.. wkwkwkw
      nggak kebayang deh kak.. tadi pagi pas di sodorin testp***k aja yudi dah bingung2.. untungnya cuma satu garis :))

      Hapus
  3. Poligami, boleh. Tapi nyesekin. ~.~"

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya, hanya mereka yang menjadi manusia "pilihan" yang sanggup menerima hal tersebut kan? :)

      Hapus
  4. bacanya juga sembari senyum-senyum sendiri :D :D
    poligami memang nyesekkin, tapi kalau udah terlanjur disuruh bagaimana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukan di suruh, tidak ada yang menyuruh untuk berpoligami, hanya membolehkan saja. klo mau ayok. klo g mau ya silahkan :)

      Hapus
  5. sulit untuk mengikhlaskan cinta yang terbagi

    BalasHapus
  6. syaratnya mantep banget hihihi...
    alhamdulillah ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mbak, maksudnya alhamdulillah di mananya ya? di sana nggak jadi nikah lagi, atau di istri yang kembali sehat? :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa bilang jadi Blogger itu Enak?

Siapa Bilang Ngeblog itu Gampang? “Wah..abang enak blogger.. kemana-mana bisa pergi kapanpun.” “abang enak, blogger, bisa kerja suka hati” Intinya tuh, enak, enak, dan enak. Begitulah persepsi orang ketika saya mengenalkan diri sebagai salah satu dari ribuan blogger keren di Aceh. Sebenarnya, apa yang terlihat enak tidaklah se-enak yang dibayangkan. Dunia ngeblog ini sudah saya tinggalkan bersamaan dengan padamnya Multiply. Iya, saya termasuk blogger yang susah move on dari satu blog ke blog lainnya. Tapi beda ketika menyangkut move on perihal hati #krik..krik..krik.. Awal tahun ini, saya kembali mencoba menyalurkan hobi menulis yang “nggak banget”. Kenapa saya katakan demikian? Karena saya ini tidak pernah bisa mengerti perihal EYD. Saya sebenarnya punya dilemma ketika menempatkan awalan “di”. Mana yang disambung, mana yang dipisah, saya bingung. Percayalah, saya tidak bohong kali ini. Karena ini menyangkut harkat dan martabat saya. #halah…

Ustad, Pesan Yang Cantik Satu!

ilustrasi dari  rantsofamuslima.blogspot.co.id Ini hanya fiktif belaka. Di angkat dari joke keseharian mereka yang berkecimpung dalam dakwah. (padahal semua manusia tugas wajibnya adalah dakwah kan? Kenapa pula harus aku tuliskan “berkecimpung” ya? Duh, jadi pusing sendiri nih menjelaskannya) Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!