Langsung ke konten utama

Mereka Yang Tak Sempurna


Esok hari, bila tak ada hambatan. Saya dan keluarga akan ngetrip  lagi ke kabupaten Singkil. Kali ini kami sekeluarga harus menghadiri perhelatan pernikahan sepupu.

Mau tidak mau, suka tidak suka, penampilan harus yang terbaik kan? 
Maka pangkas adalah salah satunya.


"Apa2an ini?! Kenapa begini rambut saya? Apa kamu tidak bisa pangaks rambut ya?!" seorang pria yang saya nilai dari ubannya yang merata, umurnya pasti tak muda lagi. Ziyad, anak tertua saya sampai bingung dan takut. Bagaimana tidak, baru saja kami masuk ke tempat pangkas tersebut. Keadaan yang memang sedang panas karena terik mentari semakin panas karena teriakan sang bapak.

"Ganti aja yang pangkasnya!" pintanya lagi. Si abang yang memangkas bapak tersebut bingung. Terdiam dia mematung. Dengan gunting dan sisir ditangannya.

Tergopoh gopoh, si abang yang lainnya, yang hendak memotong rambut saya, mengambil Alih peran si abang yang terbingung karena di omeli oleh sang bapak. Ya.. Mungkin karena konsumen adalah raja. Maka dia bisa seenaknya. Sedikit pongah kesannya. Sehingga membuat saya risih, pun demikian dengan ziyad.

Ziyad, meminta pulang. Batal pangkas rambut. Dia minta ke tempat lain saja. Sebuah tempat yang lebih lux dan lebih mahal. Tidak seperti tempat ini, berdinding dan berlantai kayu tentu harganya lebih murah. Saya setuju dengan usulan ziyad. Karena terkadang hargalah yang menentukan kualitas.


Saya permisi ingin pindah ke tempat lain. Motor saya nyalakan. Tiba-tiba, si abang yang tadi berdiri mematung itu duduk di kursi tunggu di depan tempat usahanya. Ia tidak berbicara. Hanya menggerak-gerakkan tangannya. Seolah memberi isyarat kepada salah seorang Bapak lainnya yang tengah duduk menunggu orang yang bocor ban sepeda motornya. Ya, bapak itu adalah si tukang tambal ban motor yang menjadi teman curhatnya. Si abang pangkas itu terus menggerakkan tangannya. Air matanya mulai berlinang.

Terduduk ia sembari termenung. Seolah menyedihkan keadaannya yang bisu itu. Iya, saya baru sadar kalau ternyata ia bisu. Dan, itu membuat saya terperanjat seketika. Perasaan saya tak menentu. Motor yang sudah di luar pakiran membuat keadaan semakin dilema.

"Ziyad, ayah pangkas rambutnya di sini aja ya nak?"
"Kenapa Yah?"
"Kita bagi2 rezeki dari Allah ya"
Ziyad hanya diam dan menurut. Walaupun dia tetap dengan keinginan untuk tidak memangkas rambutnya. Lalu sibuk bermain handphone.

****
Sebuah pelajaran hari ini. Sangat sulit rasanya berbuat ikhlas dalam menghargai mereka yang di berikan Allah kekurangan. Tapi bagaimanapun juga mereka adalah manusia. Sama seperti saya dan bapak yang sempat muntaz amarahnya.

Selamat siang kawan!


Komentar

  1. Kasian banget tukang pangkas itu dan dari membaca saja hati saya juga ikutan sedih.

    Iya sih mas, pembeli/konsumen itu adalah raja tapi raja juga harus bersikap bijak dan tidak memperlakukan kasar apalagi membentak seperti bapak itu. Duh jadi sedih :') hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya wid.. Sedih banget emang. Tapi terkadang di jaman sekarang hal2 kek gini udah sering dicuekin gitu aja kan?

      Hapus
  2. Sangat inspiratif dan ada konsep pembangung didalamnya. Saya ninggalin jejaknya ga :D http://www.clouid.blogspot.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ustad, Pesan Yang Cantik Satu!

ilustrasi dari  rantsofamuslima.blogspot.co.id Ini hanya fiktif belaka. Di angkat dari joke keseharian mereka yang berkecimpung dalam dakwah. (padahal semua manusia tugas wajibnya adalah dakwah kan? Kenapa pula harus aku tuliskan “berkecimpung” ya? Duh, jadi pusing sendiri nih menjelaskannya) Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!

Istrimu itu [Bukan] Pembantu

source : google.com Masak-Masak Sendiri Makan-Makan Sendiri Cuci Baju Sendiri Tidurku Sendiri Tanganku terus memainkan centong diatas penggorengan. Dengan mulut terus mengeluarkan suara sumbang yang sungguh sangat keterlaluan. Hari masih sore, tapi perut sudah lapar. Apalah daya, ibu mengatakan, tidak ada jatah tambahan bagi perut-perut yang terbuat dari karet. Hayyah..teganya dikau bu, pada anakmu yang cakep pun tidak, hancur pun tidak. 

[Catatan Seorang Suami) Dia, Istriku

Malam ini, aku tertegun sejenak. Bukan bermaksud ingin pamer, ataupun kemaruk atau apapun namanya. Aku melukiskan wanita ini, sebagai sebuah inspirasi baru. Setelah begitu lama inspirasiku menghilang. Maaf kawan, aku tak bermaksud memujanya bak wanita yang tercantik didunia. Aku juga tak mengatakan bahwa dia adalah wanita yang paling indah didunia. Karena, dia adalah wanita biasa yang besar di kampung.