Pernah suatu ketika, kala kembali menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekkah, saya merasa seperti mundur dari sebuah peradaban modern. Lima tahun di Jakarta menuntut ilmu, lengkap dengan segala fasilitas yang mewah dan canggih. Tapi pulang kampong, hari itu menjadi sebuah mimpi buruk yang telah lama terbuang.
Pulang ke Aceh berarti, saya tidak lagi bisa jalan-jalan dengan biaya murah untuk menyurusi likuk-likuk jalur Pantura. Tidak lagi bisa menikmati kesejukan Salopa di Jawa Barat sana. Keanggunan ciwidey, keriuhan jalan Malioboro, nikmatnya Tongseng, dan Sate Buntel di Surabaya. Semuanya hanya akan menjadi kenangan manis yang menjadi mimpi terakhir. Terlebih lagi, saya yang bisa dikatakan sedikit maniak bioskop, menjadi nanar ketika harus menerima kenyataan bahwa di Aceh tidak boleh lagi ada bioskop!
Begitulah, waktu berlalu. Kini, saya menjadi bapak beranak dua dan beristri satu. Keseharian hanya duduk di warung kopi, bercengkrama dengan anak dan istri. Sesekali mandi di pantai Lampuuk. Bekerjapun hanya seadanya, semua serba se-alakadar-nya. Sepertinya tak ada yang istimewa.
“Yud, sudah pernah kesini belum?” bang Arie Yamani, menyapa saya dari aplikasi Blackberry Messenger. Kepala yang telah kelimpungan dan semaput karena semalaman belum tidur. Sebuah postingan foto yang dikirimkan ke grup BBM Ecobiker. Seketika itu saya melesat duduk dari pembaringan. Ini foto yang luar biasa keren!
Dinding terjal yang putih, seputih kapur dinding tulis kala saya masih sekolah dasar dulu. Hijaunya rimbunan pohon, beberapa ada bergelantungan di dinding tebing. Bak kera yang bermain di tepi gunung. Birunya air laut, berpendar sempurna dengan langit yang berbaur awan. Sekilas, ini sebuah lukisan. Sebuah mahakarya terbaik yang diberikan Tuhan untuk negeri di ujung Sumatra ini.
Pandangan nanar kini hilang, berganti semangat yang meletup! Saya masih tidak percaya, ketika bang Arie mengatakan kalau tebing itu masih diseputaran pemukiman Krueng Raya. Itu hanya 45KM dari tempat tinggal saya kini. Bagaimana mungkin?
Beberapa waktu lalu, kawasan yang telah mati semenjak tsunami memperkosanya di penghujung 2004 lalu, kini mendadak terkenal karena keindahan Tanjung Ujung Kelindu yang diliput oleh salah satu stasiun televisi swasta. Sekelas Nadine chandrawinata pun diundang sebagai bintang tamunya. Belum lagi, latar belakang cerita novel Perempuan Keumala mengambil settingan dikawasan Pemukiman tua ini.
Tak pernah ada yang menyangka, kalau Pemukiman tua ini penuh dengan intrik sejarah dan keindahan alam. Postur daerah yang berbukit-bukit menjadikannya menyimpan begitu banyak rahasia. Sebuah kerajaan pernah berdiri disini. Sebuah perperangan hebat pernah berlangsung di sini. Dan, sebuah benteng dari wanita hebat, laksamana Keumalahayati juga ada di sini.
Lalu, Tuhan juga -selain tanjung kelindu- menciptakan sebuah mahakarya sempurna bernama Ujung Batee Puteh ( Ujung Batu Putih). Sebuah teluk kecil yang diapit oleh beberapa tebing menjulang tinggi. Menariknya, tebing ini bukan tebing batu seperti biasanya. Melainkan juga tebing tanah yang berpasir putih.
Permukaan atas tebing terkesan datar. Cukup mudah untuk dinaiki. Posisinya yang bersudut dan menjorok kelaut, membuat saya seperti terbang. Menikmati angin semilir yang menerpa wajah yang penuh keringat. Kaki yang perih karena terkena pecahan kerang mati dan telah berumur ratusan tahun seolah hilang tak terasa.
Hari ini, saya bersyukur! Saya bersujud! Tersenyum dan bersimpuh malu. Saya akhirnya mengerti, bahwa Tuhan selalu memberikan cerita terbaik dalam setiap kesedihan anak manusia. Saya, akhirnya mengerti, kalau Tuhan telah menghibur kegelisahan yang bertahun dengan sebuah sajian yang luar biasa!
Sebuah perjalanan yang hilang, kini berganti dengan sebuah ketenangan yang tiada tara. Saya pandangi setiap punggung bukit yang berdinding putih itu, air laut yang mengalun merdu. Dan sesekali, tertawa renyah bocah kecilku. Dari atas bukit, pemandangan alam yang tersaji semakin menggairahkan, pohon rindang yang tumbuh jarang-jarang seolah membawa saya jauh keatas bukit yang terpampang di Lombok sana. Bahkan, bukit putih ini juga mirip dengan tebing Bukit Batu Putih.
aku nyesel bgt 18 thn tinggal di Lhokseumawe + 1.5 thn di Banda aceh, tp ga prnh kebersit utk jalan2 mengeksplore aceh... sayangnya hobi travelingku baru mulai rutin sejak 5 thn belakangan ini pas udh pindah ke jakarta -__-. pdhl aku tau bgt di aceh ada bnyk objek2 wisata keren plus kulinernya yg surga dunia bgt ;)..Kangen ama Plie u, asam keung... hihhh....jarang ada itu di restoran Aceh jakarta mas,,kalopun ada, rasanya jauh beda :(
BalasHapusIni sebenarnya memang yg jadi masalah utama. Ketika dekat dia bau, ketika jauh dia barulah dia wangi. Nah ketika kita di aceh dan jadi masyarakat sampai bertahun2. Kita jadi emnganggap itu hal biasa. Yudi pun demikian. Sampai akhirnya disadarkan oleh kawan2 di jakarta kak
BalasHapus