Langsung ke konten utama

Orang Aceh, Mirip Kepiting?!


Kemarin, ketika istri saya rindu makan mie goreng basah yang dijual diseputaran simpang Lhong Raya. Iya, apalagi kalau bukan mie ayah simpang lhong raya. Antriannya cukup panjang dan lama. Sehingga membuat saya harus mencari kesibukan ditengah segerombolan manusia yang juga hawa Mie Aceh.

Tak jauh dari antrian tersebut. Ada sebuah aquarium tak berisi air diletakkan tepat dihadapan dapur tempat mie di aduk dan di masak. Aroma kuah mie menyeruak dan menusuk hidung saya yang mancung. Perut yang lapar semakin lapar. Tapi antrian yang mengular membuat saya harus terus bersabar. Menikmati setiap tarikan nafas dengan wangi bumbu mie yang bercampur menjadi satu dalam sebuah kuali besar dan hitam. Bang adi, sang chef, terus terlihat sibuk sembari sesekali mengajak saya berbicara basa basi.

peu ta pakek bieng? Lagak-lagak tat nyan bieng ( Apa kita campurkan kepiting ke dalam mie? Cantik-cantik sekali itu kepitingnya)” tawanya sembari terus mengaduk mie. Ting.. teng.. ting.. teng..

Saya hanya tersenyum. Saya ini, walaupun masih muda dan berhidung mancung. Akan tetapi kadar kolestrol dan asam urat sudah seusia bapaknya bang Adi. Begitu gumam saya dalam hati.

Pandangan mata kembali saya layangkan kepada kepiting hitam dan gemuk-gemuk di dalam aquarium yang lembab dan sedikit bau. Beberapa ekor kepiting terikat rapi dengan tali plastic, selebihnya, ada yang berputar-putar tak tentu arah. Ada yang garang mengarahkan capitnya ke arah saya, ada yang duduk terdiam tak berdaya. Seolah ingin berkata, makan saja aku bang..#halah

ayo, kepiting, jangan mau disamakan dengan manusia
Ada satu hal yang menarik, sedari awal saya memperhatikan sikap para jejaka kepiting ini bermain tarik-menarik satu dan lainnya. Setiap salah satu ekor kepiting hendak naik memanjat tembok kaca aquarium, setiap itu pula kepiting yang lain menarik kawannya tersebut. Begitu seterusnya, sampai akhirnya, salah satu asisten chef bang Adi mengambilnya, membelah, membersihkan, lalu melemparnya dalam kuali hitam yang panas di mana, disana sudah menanti mie lengkap dengan segala bumbunya. Malangnya nasib sang kepiting.

Fenomena ini terus berlanjut, sampai akhirnya saya harus pamit pulang kepada sang kepiting, karena mie pesanan istri saya sudah selesai.

Sepanjang jalan saya tersenyum. Ternyata sifat kepiting itu memang mengambarkan prilaku sebagian besar manusia. Terlebih lagi ketika menjelang pilkada Aceh yang akan berlangsung tak lama lagi. Para calon pemimpin, para incumbent, para senator rakyat, dan para pelaku pilkada lainnya. Sebagian mulai bersifat seperti kepiting.

Aquarium yang terbuka lebar itu tidak bisa membuat kita melihatnya sebagai sebuah pintu keluar dari masalah. Anggap saja, masalah Aceh kini. Seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, penggunaan anggaran yang tak tepat, kelatahan program tak jelas, dan lain sebagainya.

Alih-alih saling support, alih-alih saling memberikan solusi. Malah semuanya menarik untuk bersama-sama merusaknya. Sama-sama melakukan kebodohan tersebut.

Contoh paling dekat hari ini adalah, bapak-bapak dari senator dan pemimpin kota keluar negeri. Entah apa tujuannya. Negeri masih ada rakyat miskin tapi pemimpin malah pergi meninggalkannya begitu saja. Parahnya lagi, hal ini diaminin oleh semua sahabat dan kawan-kawannya yang sebangku dengannya. Apa ini tidak seperti kepiting?

Ketika ada seekor kepiting berusaha berbuat lebih baik, malah berseru, “Woi elu itu juga kepiting kayak kita, ngapain menjadi seorang chef?”

Bapak-bapak, ibu-ibu pemimpin negeri. Bila anda tetap menjadi kepiting, itu adalah pilihan anda. Paling-paling, kami, sebagai rakyat ini akan memilih untuk menjadi chef mie Aceh. Kami akan membelah, membersihkanmu, lalu melemparmu kedalam kuali yang hitam bersama mie yang sudah lebih dulu terebus sempurna.

sedih melihat kenyataan yang cukup pahit ini
Tak perlu memperlihatkan tajamnya capitmu. Tak perlu memperlihatkan kegaranganmu, sedangkan kalian sebenarnya hanyalah segerombolan kepiting yang latah. Teman lompat, kalian pun lompat. Kalian memang cantik, saking cantiknya, saya ingin menyanyikan lagu iwan fals; 

Ingin kuludahi mukamu yang cantik,
Agar kau mengerti bahwa kau memang cantik
Ingin ku congkel keluar indah matamu,
Agar engkau tahu memang indah matamu

Ntahlah, pada akhirnya kalian akan sadar atau tidak. Kalau kepiting itu, jalannya miring. Bukan ke depan. Sedangkan masalah negeri ini ada dihadapannya. Bukannya di samping. Tapi? Ah sudahlah..

Ketika ada salah seorang diantara kalian yang memutuskan untuk mengatakan kalau dia melakukan pencitraan? Ah.. inilah sifat asli kepiting.  Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah…


Sesampai di rumah, saya masih tersenyum. Melihat istri saya begitu lahap menyantap mie kepiting yang saya belikan untuknya. Setiap capitnya digigit, lalu dihisap sampai keluar semua isi dan air sumsumnya. Betapa bersyukurnya saya, karena Tuhan menciptakan kepiting sebagai kepiting.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa bilang jadi Blogger itu Enak?

Siapa Bilang Ngeblog itu Gampang? “Wah..abang enak blogger.. kemana-mana bisa pergi kapanpun.” “abang enak, blogger, bisa kerja suka hati” Intinya tuh, enak, enak, dan enak. Begitulah persepsi orang ketika saya mengenalkan diri sebagai salah satu dari ribuan blogger keren di Aceh. Sebenarnya, apa yang terlihat enak tidaklah se-enak yang dibayangkan. Dunia ngeblog ini sudah saya tinggalkan bersamaan dengan padamnya Multiply. Iya, saya termasuk blogger yang susah move on dari satu blog ke blog lainnya. Tapi beda ketika menyangkut move on perihal hati #krik..krik..krik.. Awal tahun ini, saya kembali mencoba menyalurkan hobi menulis yang “nggak banget”. Kenapa saya katakan demikian? Karena saya ini tidak pernah bisa mengerti perihal EYD. Saya sebenarnya punya dilemma ketika menempatkan awalan “di”. Mana yang disambung, mana yang dipisah, saya bingung. Percayalah, saya tidak bohong kali ini. Karena ini menyangkut harkat dan martabat saya. #halah…

Ustad, Pesan Yang Cantik Satu!

ilustrasi dari  rantsofamuslima.blogspot.co.id Ini hanya fiktif belaka. Di angkat dari joke keseharian mereka yang berkecimpung dalam dakwah. (padahal semua manusia tugas wajibnya adalah dakwah kan? Kenapa pula harus aku tuliskan “berkecimpung” ya? Duh, jadi pusing sendiri nih menjelaskannya) Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!

Ketika Aku Harus Menikah (Lagi)

adat kasih cincin kepada mempelai wanita Berbilang tahun sudah, pernikahan yang syahdu ini berjalan layaknya sebuah biduk yang mengarungi perairan Banda . Naik turun, goyang-goyang, dan tak jarang ditemani oleh lumba-lumba yang menari. Anak sudah dua. Sepasang pula. Dari yang ganteng sampai yang cantik. Lengkap sudah. Seawal perkenalan dulu, tak ada ungkapan cinta nan romantis yang berkelebat dari surat-surat kertas yang bau harum. Tak ada. Hanya ungkapan sederhana, m aukah engkau menjadi kekasihku kelak?  dan berapa maharnya? (teteup..) Singkat cerita, dia mengajukan sebuah pertanyaan klasik. “Bagaimana menurut abang poligami itu? Ada niat kah?”