Langsung ke konten utama

Namaku Si Jendral Lupa!

Alkisah di Negeri Palulupalu sedang marak kampanye pemilu. Negeri ini terkenal dengan kata-kata sang penguasa yang nan bijaksana dalam kelupaannya. Negeri ini terletak dalam garis kelupaan yang berdempetan dengan sebuah negeri-negeri anti konspirasi purba. Negeri ini berlagu kebangsaan 

“Lupalah negeriku lupalah amanahku!” menjadi icon yang menarik hati. Pemilu raya yang katanya akan berlangsung dalam hitungan minggu membuat suasana negeri semakin gegap gempita. Hiruk pikuk dengan pekik kata-kata “merdeka!”.
Dari sebuah partai yang paling demokrasi seorang jendral naik mimbar lalu berkampanye. Setelah sebelumnya menyanyikan lagu kebangsaannya. Rakyat histeris dengan orasi yang jendral. Sebuah janji-janji manis dilontarkan. Diberikan dengan mudah kepada semua penduduk negeri yang hadir.

“semua yang hadir tanahnya akan dibayarkan atas kejadian bencana lalu” sesumbarnya seketika.

“semua yang hadir, saksikanlah bahwasanya korupsi dan manupulasi akan dihilangkan dari negeri ini.” Sebuah air mata mengalir dari pelupuk mata sang Jendral. Rakyat tersentuh lalu kembali berteriak merdeka. Hei! Tahu tidak, sebenarnya negeri itu sudah merdeka sejak 71 tahun lalu. Dari para penjajah mereka menang. Mengusir dengan bamboo runcing disertai bom molotop dari pesawat kayu buatan dua bersaudara dari negeri seberangnya. Wright, iya itu yang penemu pesawat. Itupun menurut pencatatan sejarah bila sang sejarawannya tidak lupa.

“Saudaraku, saya berjanji bila menjadi Pemimpin di negeri Palulupalu ini, saya akan menyantuni rakyat miskin, anak yatim, memberikan pendidikan murah, harga sembako murah, tidak menjual asset negeri, Dan, akan menaikkan gaji pegawai pemerintahan!” Sang Jendral melepas pandangannya ke seluruh hadirin. Menarik napas panjang lalu melanjutkan lagi orasinya. Persis! Mirip orator terhebat dalam sejarah negeri tetangganya yang katanya bernama Indonesia. Apa pula arti Indonesia itu ya? Lupa mungkin yang menulis sejarahnya.

“Maka itu, pilihlah saya!”

“merdeka! Merdeka! Merdeka!” rakyat serempak menyambut penutupan orasi sang jendral. Oh iya, namanya Sang Jendral Lupa bin Lupa Pula. Jendral sepuh yang terkenal ke seluruh penjuru mata angin negeri, selalu saja dipuja-puja. Katanya sang jendral ini adalah orang baik.



*******

Nasib mujur berkata. Takdir baik menyambangi sang Jendral. 60 persen suara negeri menyatakan bahwa dirinya menjadi presiden di negara tersebut. Satu periode, 5 tahun masa pemerintahan. Sorak soraya rakyat terdengar sampai ke pelosok negeri. Tak ada teriakan takbir tapi melainkan Merdeka! Merdeka karena pemimpin pujaan menjadi presiden dan telah datang menyapa. Membawa harapan baru. Menepati semua janji. Ya namanya juga harapan apa salahnya?

Hari berganti minggu, berulang menjadi bulan, lalu berlumut menjadi tahun. 3 tahun sudah sang jendral menjadi presiden Palulupalu. Hari-hari berpeluh ternyata berganti keluh. Tidak ada lagi senyum dan teriakan merdeka dimulut para rakyat. Adanya? Ya hanya keluhan dan keluhan akibat janji dan janji yang urung di tepati. Akhir kata, para penduduk negeri mengirimkan sebuah petisi yang mempertanyakan nasibnya. Nasib janji demi janji.

Kepada

Sang Pemimpin Negeri Palulupalu

Jenderal Lupa bin Lupa Pula



Kami hanya berharap Bapak menepati janji yang telah di jual. Kami telah membeli janji itu dengan suara kemenangan kepada Bapak.

Jikau janji tak urung ditetapi, maka tabligh doa bersama akan diperuntukan keselamatan negeri ini dari kelupaan Bapak.



Tertanda

Rakyat negeri Palulupalu



Surat yang masuk di meja kerja sang Jendral diteruskan ke tong sampah yang berada di sisi kirinya. Sambil senyum manis jendral berjalan berlalu. Ah, bisa apa kalian!

Saya menyatakan bahwasanya saya tidak pernah berjanji demikian kepada seluruh negeri. Dan saya lupa jikalau ada janji demikian.” Begitulah petisi balasan yang disampaikan oleh Jendral melalui penyiar radio. Telivisi dan media cetak. Serempak, rata di seluruh negeri. Urusan selesai!

******

Jendral Lupa bin Lupa Pula, maju! Teriak seorang yang berwajah sangar. Hitam pekat. Tumbuh tinggi menjulang dengan cambuk dikiri tangannya. Kau masuk neraka! Tempatmu dilantai paling bawah. Lantai tujuh! Neraka Jahannam! Kamar Sembilan ruang sebelas! Suara makhluk yang berdiri didepan pintu besar itu semakin sangar.

Sang Jendral lalu bertambah bingung. Bukankah dia tak pernah sekalipun memesan tempat di neraka. Bagaimana mungkin dia mendapat ruang ekslusive tersebut. Lengkap nomor lantai serta ruangnya dan segenap perlengkapannya. Dari mana ini? Hatinya semakin bingung bertanya-tanya. Apakah dia lupa lagi kali ini?

Mengapa Jendral Lupa bin Lupa Pula? Kau terlihat bingung! Suara itu memecah keheningan hatinya.

“bagaimana mungkin aku mendapat jatah di neraka ini. Sedangkan aku selalu shalat 5 waktu, membayar zakat, naik haji sampai 3 kali. Umroh sudah tak terhitung. Aku menyantuni anak yatim, dan selalu tilawah? Bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan tempat disini?” Sempurna betul. Pintarnya ia mengungkapkan semua permasalahan dalam hatinya. Uneg-uneg itu keluar semuanya.

Makhluk yang sangar berdiri didepannya mencibir. Memasang raut muka acuh tak acuh. Lalu ia melengos pelan. Sembari mengatakan 

Aku lupa! Dan mungkin Tuhanmu juga lupa bahwa kau pernah beriman begitu baik di masa dahulu menjadi seorang pemimpin di negeri Palulupalu. Iya! Aku lupa! Jadi, sekarang! Masuk keruanganmu!!!

&&&

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa bilang jadi Blogger itu Enak?

Siapa Bilang Ngeblog itu Gampang? “Wah..abang enak blogger.. kemana-mana bisa pergi kapanpun.” “abang enak, blogger, bisa kerja suka hati” Intinya tuh, enak, enak, dan enak. Begitulah persepsi orang ketika saya mengenalkan diri sebagai salah satu dari ribuan blogger keren di Aceh. Sebenarnya, apa yang terlihat enak tidaklah se-enak yang dibayangkan. Dunia ngeblog ini sudah saya tinggalkan bersamaan dengan padamnya Multiply. Iya, saya termasuk blogger yang susah move on dari satu blog ke blog lainnya. Tapi beda ketika menyangkut move on perihal hati #krik..krik..krik.. Awal tahun ini, saya kembali mencoba menyalurkan hobi menulis yang “nggak banget”. Kenapa saya katakan demikian? Karena saya ini tidak pernah bisa mengerti perihal EYD. Saya sebenarnya punya dilemma ketika menempatkan awalan “di”. Mana yang disambung, mana yang dipisah, saya bingung. Percayalah, saya tidak bohong kali ini. Karena ini menyangkut harkat dan martabat saya. #halah…

Ustad, Pesan Yang Cantik Satu!

ilustrasi dari  rantsofamuslima.blogspot.co.id Ini hanya fiktif belaka. Di angkat dari joke keseharian mereka yang berkecimpung dalam dakwah. (padahal semua manusia tugas wajibnya adalah dakwah kan? Kenapa pula harus aku tuliskan “berkecimpung” ya? Duh, jadi pusing sendiri nih menjelaskannya) Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!

Ketika Aku Harus Menikah (Lagi)

adat kasih cincin kepada mempelai wanita Berbilang tahun sudah, pernikahan yang syahdu ini berjalan layaknya sebuah biduk yang mengarungi perairan Banda . Naik turun, goyang-goyang, dan tak jarang ditemani oleh lumba-lumba yang menari. Anak sudah dua. Sepasang pula. Dari yang ganteng sampai yang cantik. Lengkap sudah. Seawal perkenalan dulu, tak ada ungkapan cinta nan romantis yang berkelebat dari surat-surat kertas yang bau harum. Tak ada. Hanya ungkapan sederhana, m aukah engkau menjadi kekasihku kelak?  dan berapa maharnya? (teteup..) Singkat cerita, dia mengajukan sebuah pertanyaan klasik. “Bagaimana menurut abang poligami itu? Ada niat kah?”