Malam ini, aku tertegun sejenak. Bukan bermaksud ingin pamer, ataupun kemaruk atau apapun namanya. Aku melukiskan wanita ini, sebagai sebuah inspirasi baru. Setelah begitu lama inspirasiku menghilang. Maaf kawan, aku tak bermaksud memujanya bak wanita yang tercantik didunia. Aku juga tak mengatakan bahwa dia adalah wanita yang paling indah didunia. Karena, dia adalah wanita biasa yang besar di kampung.
Hampir, 2 bulan aku menikahinya. Dan sudah hampir, setahun aku mengenalnya. Dia dulu teman sekantorku, se-team dalam mencari data mengenai bencana alam. Tak banyak yang aku tahu tentangnya. Aku hanya mengetahui bahwa dia cukup baik sebagai seorang wanita di usianya. Itu saja. Tidak lebih. Tidak tahu apakah dia ada yang naksir, atau menaksir orang lain. Atau apapun mengenai masalah yang mungkin menjurus kepada pribadi.
Berlanjut dari segala keingin-tahuanku akan dirinya, mulailah aku memperhatikan sedikit demi sedikit dirinya. Aku hanya punya modal simpati akan dirinya. Dia anak yatim, keluarga sederhana, dan berjilbab. Oh iya, satu lagi, dia terbilang cukup pintar ( dalam pandanganku) karena mampu menyelesaikan studi strata satu dengan dua jurusan sekaligus.
Hari ini, dia yang bertilawah disampingku. Mendengarkan suaranya yang mengalun pelan-pelan, membuatku merengungi dan malu. Aku merenungi perjalananku dalam menjemput istri alias nikah. Entah sudah berapa kali aku harus menanggung malu, entah sudah berapa kali dikatakan sebagai playboy, buaya darat, atau sebutan hidung belangpun sudah pernah aku sandang. Tapi, hari ini, dia yang bersedia membagi lelahnya denganku. Yang bersedia membagi senyumnya ketika aku terjatuh begitu dalam lubang dosa. Seolah tak pernah mengenal semua sebutan itu.
Aku malu, kawan. Tidak ada hal yang mendorongku untuk menulis ini, melainkan sebagai sebuah refleksi diriku sendiri. Mungkin, ada yang ingin mengatakan bahwa ini sebuah hal yang tak patut di share. Namun bagiku, biarlah ini tetap menjadi bagian dari catatanku di dunia maya ini. Agar kelak bisa dibaca olehnya. Kala semuanya hanya menjadi kisah manis masa lalu. Aku malu untuk mengaku diri ini begitu tak pantas bersanding dengannya. Tapi ia yang berulang kali meyakinkanku bahwa aku mampu menjadi imamnya. Ah..
Saban kali memory hitam menggema di kepalaku, saban aku ragu akan menikahinya. Dan, setiap itu pula dia selalu menyakinkanku. Bahwa menikah itu, adalah menikahi seseorang yang layak untuk dianggap sebagai pendamping hidup. Semakin kuat sejarah kelam mencekamku, semakin kuat dia menarikku untuk keluar dari titik kehitaman. Aku, merasa bahwa Tuhan memberikan kesempatan kedua untuk kembali memperbaiki diri.
Singkatnya, antara yakin dan tidak, aku memberanikan diri melamar dan menikah. Aku memang mengatakan bahwa, hatiku belum sepenuhnya utuh. Kejadian demi kejadian membuatku bingung akan jalur yang harus ku lalui. Aku menikah karena ingin menepis beberapa cerita yang tak terlalu bagus di luaran. Menikah dibawah tangan atau hal-hal yang berbau dengan hal tersebut, semuanya aku ceritakan. Tidak ada satu nodapun yang aku sembunyikan. Aku membeberkan aibku sendiri pada wanita ini. Dia hanya tersenyum. Seolah memahami betapa lelahnya aku menahan dan menanggung semua keburukan diri sendiri.
Sekarang, aku mengerti. Paling tidak, aku mengerti bahwa mencintai dalam sebuah pernikahan adalah kewajiban. Bukan sebuah hal yang harus ditunda atau ditunggu. Begitulah yang aku pahami. Bisa dibilang, memang baru hari ini aku mengerti. Setelah tiga hari aku di rawat di RS karena sakit, semua keraguanku tertepis. Siang malam dia bangun hanya untuk mengurusiku. Mukanya gelisah ketika aku meringis kesakitan karena nyeri perut. Dia seolah tak lelah ketika aku berkali-kali meminta untuk di pijat karena pegal. Dia juga tak berhenti untuk terus menyemangatiku bahwa hari esok selalu akan lebih baik bila kita mau menjadi lebih baik dari hari yang lalu. Dia..dan..dia..aku kehabisan kata-kata mengukir semua hal tentang dirinya.
Memang, aku juga harus mengakui bahwa dia tak sempurna. Tapi malam ini, aku cukupkan diri dengannya. Malu, syukur, dan berbagai hal yang bercampur baur menjadi satu membuat aku begitu lama menatap dirinya yang tertidur pulas. Dia mungkin terlalu lelah menjagaku. Dia, yang tak pernah menuntut apapun kepadaku. Kini tertidur pulas. Kawan, maafkan aku atas semua tulisanku ini. Tapi wajah itu, meneduhkanku. Walaupun aku tak kaya, dia tak mengeluh. Walaupun aku hanya seorang tukang sapu, dia selalu tersenyum. Dia juga masih bisa tersenyum, ketika kandungannya yang baru hitungan minggu, gugur.Ya Allah..dengan segala kekurangannya dia mengisi hari-hariku dengan senyumannya
Kawan, maafkan aku yang mungkin terkesan berlebihan. Tapi aku yakin, bahwa diluaran sana, banyak istri-istri hebat yang mendukung suaminya untuk berdiri lagi setelah sang suami jatuh. Bukankah itu adalah sebuah hal yang begitu besar untuk disyukuri? Sebuah berkah yang datang dari pernikahan yang sacral. Betapa indahnya, dan betapa hebatnya para istri itu...
You’re all I need to turn my world
You’re all I want inside my heart
You’re all I need when were apart**
**White lion ; you’re All I need
Komentar
Posting Komentar