Langsung ke konten utama

Istrimu itu [Bukan] Pembantu

Istrimu itu [Bukan] Pembantumu
source : google.com
Masak-Masak Sendiri
Makan-Makan Sendiri

Cuci Baju Sendiri
Tidurku Sendiri


Tanganku terus memainkan centong diatas penggorengan. Dengan mulut terus mengeluarkan suara sumbang yang sungguh sangat keterlaluan. Hari masih sore, tapi perut sudah lapar. Apalah daya, ibu mengatakan, tidak ada jatah tambahan bagi perut-perut yang terbuat dari karet. Hayyah..teganya dikau bu, pada anakmu yang cakep pun tidak, hancur pun tidak. 

Mirip sedikit dengan mike lewis, tapi lebih mirip parto patrio. Akhirnya, demi mengisi perut yang kosong, aku terpaksa mengeluarkan jurus andalan semasa Sekolah dasar dulu. Masak semuanya sendiri! Mulai dari makanan pembuka, sampai hidangan penutup. Lengkap dengan minumannya. Kan, prinsipnya, kalau mau repot, repot saja sekalian. Jangan tanggung-tanggung. Kalau mau masak, masaklah sampai tuntas. Lengkap.

Selesai memasak, masuk tahap selanjutnya. Membersihkan kembali kompor dan dapur. Lalu mencuci sendiri piring-piring kotor. Muantabs! Sudah meracik semuanya sendiri. Oh tidak, tapi mulai dari belanja sendiri, lalu merajangnya sendiri, memasaknya sendiri, lalu memakannya sendiri, sampai akhirnya mencuci piring sendiri. Kenyangpun tak dibagi-bagi.

Seperti yang sudah lumrah, orang capek pasti makannya banyak. Ibu dan ayah tertegun melihat anak sulungnya makan nasi sore. Ini belum masuk makan malam. Baru sore saja. Ah, biarlah. Kan masak sendiri.

“bang, kalau nanti punya istri, apa nggak malu makan sebanyak itu?” Tanya ibuku. Aku hanya menjawab simple saja. Tidak. Iya kenapa mesti malu?

“yang jadi masalahnya sekarang bu, gimana kalau istri abang itu nggak bisa dan nggak sanggup masak. Itu dia masalahnya”. Jawabku sekenanya. Tiba-tiba wajah ibu berubah. Mimic mukanya menjadi serius.

“memangnya nikah untuk mudahin urusan dapur? Emangnya istri itu pembantu? Dinikahin untuk disuruh nyuci baju, cuci piring, masak nasi, dan bersihin rumah? Mati aja ibu kalau gitu” he? Kenapa ibuku jadi serius begini? Aku jadi teringat ketika pertama kali aku dipaksa oleh ibu kandungku (* yang bicara tadi itu ibu sambungku) untuk mencuci baju sendiri. Baju itu dilempar ke mukaku. Sambil mengatakan “apa kalau istri abang lagi hamil mau disuruh cuci baju juga?”. Memang sekarang jaman sudah canggih. Ada babu jepang alias mesin. Ada juga PRT, tapi kalau tidak mempunyai cukup uang? Apa iya masih mau menyuruh istri seenak jidat?

”..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233). Ini perkataan Allah, melalui alquran. Bayangin aja, allah begitu meringankan tugas seorang istri. Kalau kata ustad sarwat, si istri itu ibarat ratu! Jadi, bukan pembantu. Justru yang menjadi pembantu itu adalah suami.

Seorang suami selalu dipahami tugasnya hanya sebatas mencari nafkah. Padahal bukan hanya sampai disitu. Islam mengajarkan bahwa seorang suami bertanggung jawab penuh kepada istrinya dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. (nyahok..nyahok dah! ) dari mulai mencari nafkah menurut kemampuannya, dibawanya nafkah itu pulang. Lalu diolahnya menjadi sesuatu yang layak dimakan atau layak dikenakan. Terakhir, disuaplah sang istri. Kalau istri sedang hamil, bang Arham bilang, suami itu tukang GPU istri, alias garuk, pijat dan urut! Nah lho? ”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)

Bayangin aja! Betapa indahnya seorang istri dengan kedudukan seperti itu. Duduk doang, goyang-goyang kaki doing. Semuanya tersedia. Terakhir, tanggungan akhiratnya juga ada ditangan suami. Bagai ratu disebuah istana bukan? Istri dinikahi untuk disantuni. Memang, adalah kemutlakan mutlak seorang istri patuh kepada suaminya. Inilah islam. Mengajarkan konsep keseimbangan yang sempurna. Jadi, tidak ada yang besar kepala. Apalagi sampai bertumpang pinggang. Masing-masing diberikan hak dan kewajiban sebatas kemampuannya. Kalau ada suami yang kasar kepada istri, allah mengutuknya. Begitupun kalau ada istri melawan suami, maka surga jauh darinya. Sama rata, sama rasa.

Kalau di timur tengah, kata orang, sebagian besar yang belanja itu adalah kaum adam bukan kaum hawa. Sedangkan di Indonesia, kalau bisa kaum hawa saja yang kerja. Sang adam duduk dirumah. Ini memang karena budaya. Tapi, kata ayah, sebenarnya yang diperlukan adalah komunikasi dan saling pengertian. Cinta memang benar, tapi tanpa pengertian semuanya sama seperti dineraka.

Jadi, bila ditilik kembali kedudukan seorang istri didalam islam, tidak ada yang namanya pembantu. Istri melayani suami, suami melayani istri. Uang istri uang suami he he he…nggak ding. Semuanya sama rata, sama rasa aja ya? Seperti Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kamu makan, berilah dia pakaian tatkala kamu berpakaian..” (HR. Abu Daud)


Cinta Aku Tak Punya

Kekasihpun Tiada
Semuanya Telah Pergi
Tak Tahu Kemana…Ooo..ooo..ooooh…



“yudiii… berisik!!! cari aja sana di kaki gunung geurutee!” teriak ibu yang sedang bercengkrama dengan ayahku. Padahal,  aku sedang asyik-asyiknya menghayati lagu tersebut. Ya sudahlah, paling tidak begitulah adanya.


Aduh… duh duh duh… Oo…

Kemana… harus kemana
diriku membuang sepi
yang selalu menyiksa diriatau kurelakan begini (pletak..dilempar pake sapu ama ibuku)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapa bilang jadi Blogger itu Enak?

Siapa Bilang Ngeblog itu Gampang? “Wah..abang enak blogger.. kemana-mana bisa pergi kapanpun.” “abang enak, blogger, bisa kerja suka hati” Intinya tuh, enak, enak, dan enak. Begitulah persepsi orang ketika saya mengenalkan diri sebagai salah satu dari ribuan blogger keren di Aceh. Sebenarnya, apa yang terlihat enak tidaklah se-enak yang dibayangkan. Dunia ngeblog ini sudah saya tinggalkan bersamaan dengan padamnya Multiply. Iya, saya termasuk blogger yang susah move on dari satu blog ke blog lainnya. Tapi beda ketika menyangkut move on perihal hati #krik..krik..krik.. Awal tahun ini, saya kembali mencoba menyalurkan hobi menulis yang “nggak banget”. Kenapa saya katakan demikian? Karena saya ini tidak pernah bisa mengerti perihal EYD. Saya sebenarnya punya dilemma ketika menempatkan awalan “di”. Mana yang disambung, mana yang dipisah, saya bingung. Percayalah, saya tidak bohong kali ini. Karena ini menyangkut harkat dan martabat saya. #halah…

Ustad, Pesan Yang Cantik Satu!

ilustrasi dari  rantsofamuslima.blogspot.co.id Ini hanya fiktif belaka. Di angkat dari joke keseharian mereka yang berkecimpung dalam dakwah. (padahal semua manusia tugas wajibnya adalah dakwah kan? Kenapa pula harus aku tuliskan “berkecimpung” ya? Duh, jadi pusing sendiri nih menjelaskannya) Suatu ketika di pelataran mesjid. Seorang pemuda yang berumur cukup duduk dengan serius bersama ustadnya. Percakapan yang dibicarakan juga perihal yang serius. Seserius duduknya mereka berdua. Mereka membicarakan perihal masa depan. Kehidupan masa depan. Cita-cita masa depan. Keindahan sampai dengan masa depan. Ah, apa pula itu?!

Ketika Aku Harus Menikah (Lagi)

adat kasih cincin kepada mempelai wanita Berbilang tahun sudah, pernikahan yang syahdu ini berjalan layaknya sebuah biduk yang mengarungi perairan Banda . Naik turun, goyang-goyang, dan tak jarang ditemani oleh lumba-lumba yang menari. Anak sudah dua. Sepasang pula. Dari yang ganteng sampai yang cantik. Lengkap sudah. Seawal perkenalan dulu, tak ada ungkapan cinta nan romantis yang berkelebat dari surat-surat kertas yang bau harum. Tak ada. Hanya ungkapan sederhana, m aukah engkau menjadi kekasihku kelak?  dan berapa maharnya? (teteup..) Singkat cerita, dia mengajukan sebuah pertanyaan klasik. “Bagaimana menurut abang poligami itu? Ada niat kah?”